PEMIKIRAN TOKOH Dr. ABUDDIN NATA
Mata Kuliah: Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing: Drs. Abdul Haris
Disusun Oleh Kelompok VI
Hasyuni (2012121617)
Erni Apriliani (2012121627)
Yunita (2012121628)
Jurusan/Semester: PAI/III
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
2013
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta. Kencana
Nata, Abuddin. 2006. Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta. UIN Jakarta Press
Prof. Dr. Abuddin nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 12
Nata, Abuddin, 2002. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta. Raja Grafindo Persada
http://www.goodreads.com/book/show/2131271.Paradigma_Pendidikan_Islam
http://www.goodreads.com/author/show/801544.Abuddin_Nata
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Pemikiran Tokoh Dr. Abuddin Natta” mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak kampus yang sudah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun makalah ini, juga kepada bapak Drs. Abdul Haris selaku Dosen pembimbing yang sudah banyak membantu dan menuntun penulis selama pembuatan makalah ini. Tidak lupa juga kepada teman-teman yang selalu menemani, membantu dan mensuport selama pembuatan makalah ini. Maka, makalah ini dapat terselesaikan tidak lepas dari kerjasama dari semuanya.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Kandangan, 22 November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
Konsep Pendidik 2
Konsep Peserta Didik 4
Pola Hubungan Pendidik Dan Peserta Didik 6
Sikap Guru Terhadap Murid 6
Sikap Murid Terhadap Guru 8
Pola Hubungan Murid Dan Guru 8
BAB III PENUTUP 11
Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sekilas tentang Riwayat Hidup Abuddin Nata
Prof. Dr. H. Abuddin Nata adalah Guru Besar Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, serta Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beliau lahir di Bogor pada 2 Agustus 1954. Pendidikannya dimulai dengan Madrasah Ibtidaiyah Jati Pinggir Tanah Abang Jakarta Pusat hingga kelas 3 (tahun 1963), dilanjutkan dengan Madrasah Wajib Belajar (MWB) sambil nyantri di Pesantren Nurul Ummah Nagrog Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Dan tamat pada tahun 1968. Selanjutnya menempuh Pendidikan Guru Agama (PGA, 4 tahun) sambil nyantri juga dan lulus tahun 1972. Kemudian beliau melanjutkan di Pendidikan Guru Agama (PGA), 6 tahun) sambil nyantri di Pesantren Jauharotun Naqiyah, Cibeber, Cilegon, Serang, Banten. Beliau tamat Sarjana Muda Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1979 dan Sarjana Lengkap di jurusan yang sama pada tahun1981.
Pada tahun 1994 beliau meraih gelar Magister dan gelar Doktor dari lembaga yang sama. Tahun 2000 beliau menyelesaikan Post Doctorat Program di Islamic Studies McGill University, Montreal, Canada.
Berbagai jabatan akademik, maupun sistemik telah beliau alami. Beliau bukan hanya menuangkan pengetahuan, keilmuan dan pemikirannya melalui berbagai buku yang ditulisnya. Beliau juga seorang kolumnis pada sejumlah media cetak lembaga maupun publik. Beliau juga kerap menghasilkan karya ilmiah, esai, artikel dan sejumlah ensiklopedi Islam Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PANDANGAN ABUDDINNATA
Pada dasarnya pemikiran Abuddin Nata banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikir-pemikir besar Islam sebelumnya. Seperti diketahui bahwa Abuddin Nata banyak meneliti tentang pendapat para pemikir pendidikan Islam, khususnya dalam buku yang berjudul Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Pesrfektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Muirid; Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali yang kemudian dengan sendirinya memberikan kesimpulan tersendiri dari beberapa pemikir yang banyak menjadi referensinya itu. Sengaja atau tidak beberapa konsep pemikiran atau pendapat-pendapat para ahli pendidikan Islam terlihat justru telah masuk dalam pola dan konsep pikir Abuddin Nata. Hal ini dipahami dapat saja terjadi, namun demikian sesekali nampak jelas pikiran-pikiran Abuddin Nata dengan logika-logika baru, pemahaman baru dan konsep-konsep baru. Beberapa pikiran tokoh tentang pendidikan Islam yang banyak dikaji oleh Abuddin diantaranya, Ibn Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina, al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad, K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul Muslimin, dan pemikir-pemikir lainnya. Dengan demikian pikiran-pikiran Abuddin bisa saja dimotori oleh para pemikir tersebut dengan membentuk formula baru meskipun pada hakikatnya beberapa pendapat itu adalah sama. Formula-formula yang dimaksud tentu akan memberikan kekhasan tersendiri dari pemikir-pemikir lainnya. Untuk selanjutnya fostulasi baru inilah yang dianggap sebagai “polesan” ilimiah dari seorang Abuddin Nata.
Konsep Pendidik
Pendidik menurut Abuddin disebut juga sebagai guru, instruktur, ustadz, dan dosen. Mereka memegang peranan penting dalam berlangsungnya kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Tugas guru dalam mewujudkan tujuan pendidikan menurut Abuddin merupakan “bentuk lain dari pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintahnya. Dari pendapat Abuddin ini diketahui bahwa guru sebagai pendidik merupakan sebuah tugas ibadah dan pengabdian manusia dalam menjalankan perintah Allah. Jadi pendidikan adalah upaya manusia untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai hamba dan khalifah di bumi.
Abuddin Nata memandang bahwa pendidik adalah seorang contoh teladan maka segala tingkah laku guru harus sesuai dengan norma dan nilai agama yang berasal dari wahyu. Pentingnya nilai-nilai yang melekat pada guru dengan memperhatikan norma yang berlaku dimaksudkan untuk menjaga wibawa para guru. Seorang guru harus tampil sebagai teladan yang baik dalam proses pembelajaran. Usaha penanaman nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak hanya sekedar komunikator nilai, sekaligus sebagai pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggungjawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang utuh. Abuddin mengatakan bahwa tanggungjawab guru kian hari semakin berat. Dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat (baca: pengetahuan, tehnologi dan cara pandang) maka tugas mengajar harus diberikan kepada seorang yang profesional , bukan orang sembarangan. Nampaknya pada umumnya hampir para ahli pendidikan Islam setuju profesionalisme sebagai syarat dalam mengajar. Dari sini dapat dipahami bahwa Abuddin adalah seorang pemikir yang menuntut agar setiap pendidik bertanggungjawab dalam meningkatkan keilmuannya dan kualitas akademiknya melalui kegiatan-kegiatan ilmiah agar dapat meningkatkan kualitas siswanya.
Sebagai guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam intraksi belajar mengajar, serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuanm dalam hal ilmu yang dimilikinya, karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang akan dicapai siswa. Salah satu yang harus diperhatikan oleh guru bahwa ia sendiri adalah pelajar. Ini berarti guru harus belajar terus menerus. Dengan cara demikian dia akan memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dalam intraksi belajar mengajar, sehingga dengan kemampuannya baik dalam hal metode mengajar, gaya mengajar ataupun penyampaian materi pelajaraan bisa menyukseskan intraksi belajar mengajar atau pun proses belajar mengajar.
Pada konteks kekinian guru mestilah memiliki kemampuan dan personality. Lebih lanjut Abuddin menyatakan bahwa dalam menghadapi tuntutan zaman penguasaan terhadap materi sangat diperlukan untuk menciptakan siswa yang kreatif, produktif dan mandiri. Lagi-lagi terlihat bahwa Abuddin sangat mementingkan profesionalitas guru sebagai pendidik. Tentunya tugas profesionalitas melahirkan tanggung jawab yang sangat besar. Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan Abuddin mengungkapkan bahwa pentingnya pendidik professional dilandasi oleh hadis Nabi yang menjelaskan “apablia suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Hal ini menurut Abduddin sejalan dengan firman Allah SWT. “Bekerjalah kamu menurut keahlianmu sekalian, (Azzumar: 39, juga terdapat di dalam surah at-Taubah:105) . Dalam profesionalitas guru yang dimaksud terlihat bahwa Abuddin lebih mementingkan persyaratan akademis.
Di samping sebagai teladan, penyayang dan bersikap lemah lembut terhadap siswa sesuai dengan psikologi manusia, sebab secara psikologis setiap manusia lebih suka diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan halus daripada diperlakukan dengan cara-cara yang keras dan kasar. Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia Hanna Djumhana Bastaman menyatakan bahwa para ahli dan aliran psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Untuk itu sebagai pendidik guru mestilah memahami kondisi yang sedang dihadapi oleh siswanya, baik jasmaninya, kejiwaannya maupun lingkungan di mana siswa tersebut tinggal. Guru mesti memahami prakondisi dan kondisi yang dialami siswa dalam proses pembelajaran. Lebih lanjut Abduddin mengatakan seorang guru juga harus tampil sebagai motivator.
Dalam kaitan ini akhlak para guru sebagai pemberi motivasi adalah tidak menghadapi muridnya dengan kasar, tidak menghilangkan minat dan semangatnya. Karena jika seorang guru memperlakukan siswanya dengan kasar tentu saja akan menghilangkan simpati siswa pada gurunya dan pada gilirannya murid akan menolak pelajaran mereka. Jika hal ini berlangsung maka akan mengakibatkan kesia-siaan suatu ilmu disebabkan kelalaian para guru.
Selanjutnya menurut Abduddin guru mestilah sikap tawadlu dan rendah hati. Pendapat ini sesuai dengan Pendapat al-Abrasyi yaitu untuk terciptanya suasana pendidikan yang baik, maka seorang pendidik dituntut untuk memiliki sifat qanaah, tawadhu’, bersih dan suci lahir batin, iklas, penyantun, kebapakan, mengetahui perkembangan emosi dan intelektual peserta didik, serta menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan dengan baik.
Seorang guru perlu menghargai muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi, serta melibatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini menurut Abuddin sangat sejalan dengan prinsip yang digunakan oleh pendidik di zaman modern, yaitu murid dan guru berada dalam kebersamaan. Guru juga harus bersikap demokratis karena menurut Abuddin dengan sikap demokratis guru akan mendorong terciptanya cara belajar siswa aktif. Hal ini dapat dipahami sistem pembelajaran yang demokratis adalah kondsi pembelajaran yang menghargai beragam pendapat, menghargai perbedaan, dan menghargai kemampuan setiap manusia.
Konsep Peserta Didik
Abuddin Nata berpendapat bahwa seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Pendapat di atas terlihat bahwa Abuddin Nata mengartikan murid dalam makna sufistik dan nampaknya diilhami oleh pemikiran al-Ghazali. Selanjutya Abuddin menyatakan ada tiga kata yang sering digunakan yaitu murid,al-tilmidz dan al-mudarris, namun kata-kata ini hanya digunakan pada level pelajar tingkat dasar dan tingkat lanjutan. Karena semua itu menurut Abuddin murid tersebut baru belajar, belum memiliki wawasan, dan masih amat bergantung pada guru dan belum menggambarkan kemandirian. Ia masih memerlukan masukan berupa pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan lain sebagainya, sehingga masih banyak memerlukan bimbingan. Hal ini dapat dipahami bahwa siswa baru dapat menerima pengertian-pengertian pembelajaran secara konseptual teoritis, belum mampu menerima pengetahuan yang bersifat konseptual.
Istilah lain yang berkenaan dengan murid pada level pendidikan tinggi dikemukakan oleh Engr Sayyid Khadim, sebagaimana di Kutip oleh Abuddin adalah al-thalib. Kata ini berasal dari Bahasa Arab, thalaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini menurut Abuddin karena posisi peserta didik adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya, untuk bekal kehidupannya dimasa depan agar berbahagia dunia dan akhirat. Kata thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang disebut dengan mahasiswa. Lebih lanjut Abuddin berkomentar, sebagaimana petikan berikut: Penggunaan kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dimengerti karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang ia peroleh dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahun tentang membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan mendalimi bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial melalui berbagai peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa selanjutnya dituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah, skripsi, teiss, disertasi, laporan penelitian dan lain sebagainya.
Dengan demikian menurut Abuddin al-thalib adalah seorang murid yang lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan tidak banyak bergantung pada guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengritik dan menambahkan informasi yang disampaikan. Menurut penulis situasi ini dapat berlangsung karena di perguruan tinggi situasi pembelajaran selain lebih banyak tugas yang dibebankan kepada mahasiswa (al Thalib) setting pembelajarannya juga dilakukan secara ilmiah, rasional, sistematik, dan demokratis.
Ada dua pendapat yang dirujuk oleh Abuddin ketika memberikan pengertian murid yaitu pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa al-Thalib bukanlah kanak-kanak yang belum dapat berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dan pendapat Abd al-Amir Syams al-din yaitu al-Thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan dalam kecerdasan, dapat berfikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan dengan kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan, dalam mendapatkan ilmu dan upaya-upaya untuk mencapainya. Selain murid al tilmidz, dan al-Thalib, Abuddin Nata dalam penyelidikannya tentang konsep peserta didik, menemukan beberapa kata-kata yang biasa digunakan oleh para pemikir pendidikan Islam yaitu al-mudarris, yang berasal dari bahasa Arab, darrasa yang berarti orang yang mempelajari sesuatu. Pengertian lain adalah al-Muta’allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘allama, yu’allimu, ta’liman yang berarti orang yang mencari pengetahuan. Isitlah ini menurut Abuddin Nata yang paling banyak digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan pengertian murid.
Pola Hubungan Pendidik Dan Peserta Didik
Sikap Guru Terhadap Murid
Abudddin Nata menyimpulkan Kitab Adab al-Ulama wa al-Muta’allim, karangan maulana Alam al-Hajjar ada dua belas sifat yang ditunjukkan oleh guru terhadap siswa dalam proses belajar mengajar yaitu; 1) guru mesti memahami bahwa tujuan mengajar untuk mendapat keridhaan Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan yang bersifat duniawi, harta, kepangkatan, keteanaran, kemewahan, status sosial dan lain sebagainya; 2) senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang-terangan, dan senantiasa menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatannya, karena ia seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh Allah dan kejernihan pancaindra dan penalaran; 3) menjaga kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela; 4) berakhlak dengan sifat juhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, qana’ah dan sederhana; 5) menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela; 6) melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya; 7) melaksanakan amalan syariah yang disunnahkan; 8) bergaul dengan sesama manusia dengan menggunakan akhlak yang mulia dan terpuji; 9) memelihara kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela, 10) senantiasa semangat dan menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras; 11) senantiasa memberi manfaat kepada siapapun, dan 12) aktif dalam mengumpulkan bahan bacaan, mengarang dan menulis buku. Dari kedua belas sikap guru tersebut Abuddin berpendapat bahwa pribadi guru dalam pandangan Islam adalah seorang muslim yang taat menjalankan syariat Islam.
Menanggapi kutipan tersebut Abuddin berkomentar “seorang guru adalah mereka yang paling kurang memiliki empat syarat. Pertama syarat keagamaan, yaitu patuh dan tunduk melaksanakan syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Kedua senantiasa berakhlak yang mulia yang dihasilkan dari pelaksanaan syari’at Islam tersebut. Ketiga senantiasa meningkatkan kemampuan ilmiahnya sehingga benar-benar ahli dalam bidangnya. Keempat mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat pada umumnya.” Pandangan Abuddin tersebut dipahami bahwa guru mesti memiliki syarat sebagai orang yang beriman, berakhlak mulia dan memiliki kemampuan akademik, ikhlas dan berwawasan yang luas. Sekaitan dengan ini Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf mengatakan: seorang pendidik, bukan hanya dituntut memiliki ilmu yang luas, lebih dari itu mereka hendaknya seorang yang beriman, berakhlak mulia, sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas profesinya, serta menerima tanggungjawab profesinya sebagai bagian amanat yang diberikan Allah kepadanya dan mesti dilaksanakan secara baik.
Selanjutnya Abuddin Nata berpendapat sikap profesional guru terhadap siswa secara teknis dalam proses belajar mengajar adalah bersikap diantaranya lemah lembut, sabar dalam menghadapi cobaan dan perlakuan yang kurang menyenangkan dari murid-muridnya dengan cara melibatkan diri ke dalam perbuatan yang baik. Di samping itu guru menanyakan muridnya yang tidak hadir, berupaya memperluas pemahamannya, memberikan nilai manfaat kepadanya, berupaya memberikan pemahaman sesuai dengan tingkat kecerdasannya, tidak memberikan beban yang tidak sanggup dipikul murid, tidak pula memberikan tugas yang terlalu ringan, mengajar masing-masing individu menurut tingkat kesanggupannya dan motivasinya, misalnya cukup memberikan isyarat kepada anak yang sudah paham, dan memberikan penjelasan melalui berbagai perumpamaan kepada yang belum paham, dan memberikan penjelasan melalui berbagai perumpamaan kepada yang belum paham, mengulang-ulang bagi yang belum hafal disertai dalil-dalilnya. Pendapat ini menurut penulis bahwa guru memerlukan siasat atau strategis bagaimana sebuah pembelajaran dapat berlangsung dengan dan melakukan analisis terhadap materi pelajaran dan peserta didik, agar proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan tingkat kemampuan para siswa. Dalam hal kinestik (gerak seorang guru) Abuddin menyimpulkan bahwa guru hendaklah memlihara kedua tangnnya dari hal-hal yang dianggap tidak perlu, serta kedua matanya dari pandangan yang tidak ada gunanya, melainkan menoleh kepada hadirin dengan pandangan yang mengandung maksud sesuai dengan sesuai kebutuhan pandangannya. Dapat dipahami bahwa guru dalam konteks style (gaya) tidak baik terlalu banyak bergerak pada hal-hal yang dapat merendahkan harkat, martabat dan kebesaran nama guru. Jika diperhatikan lebih lanjut guru yang menjaga dirinya dari sifat-sifat tercela, menjaga keyakinannya, wibawa, martabat dan ilmu pengetahuannya bukanlah dimaksudkan sebagai manipulasi taktik terhadap siswa, tetapi yang demikian itu dilakukan dengan mengharap ridha dari Allah SWT. Mungkin inilah yang mesti disadari oleh sebagai dari guru karbitan sekarang, bersembunyi di balik benteng gelar dan jabatan akademik lantas melakukan upaya-upaya pengkerdilan secara sitemik terhadap siswa atau mahasiswa. Guru seperti ini adalah guru yang haus terhadap penghargaan atau embel-embel lainnya agar dianggap hebat, superior, atau selebritis atau guru yang berorientasi duniawi semata.
Kemudian Abuddin menjelaskan guru harus menjaga majelisnya dari perbuatan keliru dan akhlak yang tercela dari para hadirin, dan jika terdapat perbuatan yang tidak baik yang ditunjukkan oleh sebagai siswanya, maka hendaknya ia diperingati dengan cara yang halus sebelum mengatasinya, dan mengingatkan para jamaah bahwa perkumpulan di majelis ini ditujukan untuk mengharap keridhaan Allah SWT, maka tidak pantas melakukan pertengkaran dan keributan. Hal itu dilakukan dalam keadaan bersikap lembut, niat yang bersih dan meminta pendapat yang lainnya, serta mengikat hati para hadirin agar menegakkan kebenaran dan menghasilkan hal-hal yang bermanfaat. Berkaitan ini kesimpulan Abuddin tersebut dapat dipahami bahwa guru dalam konteks hari ini perlu menjaga sikap keguruannya dalam berbagai pertemuan sosial kemasyarakat dan pertemuan ilmiah.
Berdasarkan pendapat al-Ghazali itu Abuddin Nata menjelaskan sosok guru yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai perbedaan pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Selain itu seorang guru mestilah adil, dan tidak memandang status sosial muridnya.
Sikap Murid Terhadap Guru
Selain guru mesti bersikap terhadap murid, dalam pendidikan Islam murid juga mesti memiliki sikap yang baik terhadap gurunya. Dengan adanya proses timbal balik tersebut diperoleh keseimbangan perilaku, kesamaan persepsi, dan adanya hubungan yang saling menghormati antara kedua belah pihak. Meskipun pada dasarnya gurulah yang harus lebih memahami murid karena pengetahuan dan pengalamannya lebih luas dan banyak, tetapi disisi lain siswa juga mesti memiliki etika tertentu terhadap gurunya, sehingga dia dapat menghormati dan menghargai gurunya.
Dalam hal ini Abuddin Nata menyimpulkan pendapat Abdullah Badran yang mengatakan murid mesti bersikap baik terhadap gurunya, jangan bertanya tentang sesuatu diluar masalah yang dibahas, kecuai masalah itu diketahuinya, karena hal itu kurang menyenangkan hati guru, jangan malu bertanya tentang masalah yang sulit, dan ajukan pertanyaan ketika guru sedang tenang jiwanya dan memiliki peluang. Dari segi ini berarti seorang murid menurut Abuddin mestilah berani bertanya dengan maksud tidak untuk menguji guru, mampu melihat dan membaca kondisi dan situasi psikologis seorang guru, mampu memilah pertanyaan yang berkaitan dengan topik pelajaran, dan pertanyaan yang diajukan mestilah masih dalam kerangka pembahasan, agar pelajaran yang dibahas fokus terhadap materi dan tujuan pembelajaran
Murid juga harus menunjukkan kesungguhan dalam belajar, tekun belajar setiap waktu, siang dan malam, ketika di rumah atau di perjalanan, tidak bepergian yang tidak ada hubungannya dengan menuntut ilmu pengetahuan, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, tidur dan semacamnya seperti istirahat sebentar untuk menghilangkan rasa lelah dan kebutuhan pokok lainnya. Selain itu untuk memudahkan murid memperoleh pelajaran murid juga harus membersihkan hatinya agar mendapat pancaran ilmu dengan mudah dari Tuhan. Ia harus menunjukkan sikap ahklak yang tinggi terutama terhadap gurunya, pandai mengatur waktu yang baik, memahami tata karma dalam majelis ilmu, berupaya menyenangkan hati sang guru, tidak menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan hati sang guru, giat belajar dan sabar dalam menuntut ilmu. Selain itu murid juga harus bersikap sabar, dan menjauhkan diri dari perlakuan yang kurang baik dari syaihknya dan jangan menutup diri dan terus berupaya menyertainya, dengan menduga tetap ada nilai-nilai positifnya, dan hendaknya ia tetap menduga terhadap perbuatan syaihk yang secara lahiriyah tanpak buruk, tetapi pada hakikatnya tetap baik. Hal yang demikian tidak mengapa, walaupun petunjuk yang diperoleh dari sikap syaihk itu cuma sedikit. Ia tetap harus menunjukkan sikap yang manis, cita-cita yang tinggi, tidak puas dengan hasil ilmu yang sedikit padahal peluang cukup banyak, tidak menunda-nunda untuk mencapau keberhasilan walaupun sedikit.
Pola Hubungan Murid Dan Guru
Hubungan Edukatif
Inti dari pendidikan adalah terjadinya hubungan interaktif antara guru dan murid. Tujuan pendidikan Islam di atas hanya akan dapat dicapai jika dalam proses pendidikan terjadi interaksi yang aktif dan harmonis antara guru dan murid. Dalam interaksi yang aktif dan harmonis yang dimaksud adalah adanya pemahaman dan pelaksanaan tentang tugas dan fungsi masing-masing di dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam interaksi edukatif antara guru dan murid untuk mencapai tujuan pendidikan selanjutnya akan membentuk pola hubungan. Pola hubungan inilah yang akan menjadi kajian selanjutnya. Menurut Abuddin Nata subyek didik (guru) adalah sebagai pemberi bimbingan, arahan dan ajaran, dan objek didik (murid) yang menerima bimbingan, arahan dan ajaran tersebut. Guru berfungsi sebagai fasilitator dan penunjuk jalan ke arah penggalian potensi anak didik (murid) dan murid sebagai obyek yang diarahkan dan digali potensinya.
Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang dikemukakan Abuddin tersebut tersirat adanya pola hubungan edukatif, yang maknanya interaksi ditandai dengan adanya guru yang memberi pelajaran dan adanya siswa yang menerima materi pelajaran. Meskipun guru disebut sebagai pemberi pelajaran bukan berarti bahwa gurulah yang menjadi satu-satunya sebagai sumber belajar, akan tetapi guru hanyalah salah satu orang yang memfasilitasi kegiatan pembelajaran, sebagai pengarah dan pemberi bimbingan.
Hubungan Demokratis
Lebih lanjut Abuddin menjelaskan bahwa guru dan mendengarkan pendapat para siswa, bersikap obyektif, terbuka dan membantu perkembangan siswa sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Dari segi ini dipahami bahwa pola hubungan antara guru dan murid dilandasi dengan hubungan yang demokratis; saling menghargai adanya perbedaan, merdeka, tidak memaksakan kehendak, dan mengetahui kekurangan-kekurangan masing-masing. Selain itu dapat juga dipahami bahwa hubungan antara guru dan murid adalah hubungan yang didasari sikap transparansi, terbuka, jujur, adil dan tidak berpihak.
Hubungan Kekeluargaan
Abuddin memandang bahwa hubungan antara guru dan murid mestilah di dasarkan atas hubungan rasa kekeluargaan. Dimana seorang guru menganggap bahwa muridnya adalah bagian dari keluarganya, muridnya adalah anak-anaknya sendiri, yang mana sebagai orang tua tentu akan menjaga, memelihara dan mengupayakan yang terbaik kepada muridnya. Demikan juga sebaliknya muridpun mestilah menganggap bahwa gurunya adalah termasuk orang tua yang harus dicintainya, dihormati dan dipatuhinya. Hubungan antara guru dan murid dibina berdasarkan persaudaraan dan rasa kekeluargaan biasanya ditemui dalam pesantren.
Hal ini diungkapkan oleh Kihajar Dewantara: Bahwa dengan cara pondok, (pawiyatan) kita dapat mengadakan dunia kesiswaan dan pecantrikan, yaitu dunia pendidikan. Oleh karena itu guru-guru dan murd-murid itu tiap hari hidup bersama-sama, siang malam bersama-sama, makan, bermain, belajar, bergaul, dan dari sini seorang anak akan terdidik dengan sempurna, yakni pendidikan tidak menurut buku-buku pedagogic yang bersifat teoritis semata, melainkan menurut pedagogik yang hidup, yaitu menurut cara hidup yang nyata dan baik. Dengan system demikian, maka anak-anak kita tidak akan terpisah dengan orang tuanya. Sehari-harinya anak-anak akan merasa sebagai anak rakyat, terus insyaf akan kemanusiaan, karena senantiasa hidup dalam dunia kemanusiaan.
Hubungan kekeluargaan yang dimaksud tidaklah mungkin dapat diciptakan di sekolah-sekolah umum sebagaimana layaknya dipesantren namun yang penting adalah maknanya secara aktual dengan adanya pengkondisian dapat diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan.
Hubungn Psikologis
Hubungan psikologis yang dimaksud adalah adanya hubungan kejiwaan yang sangat dekat antara seorang guru dengan muridnya. Hubungan ini ditandai dengan adanya perasaan dekat antara seorang murid dengan gurunya. Hubungan ini tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Hubungan psikologi biasanya didasarkan atas persahabatan, pergaulan , jenjang hirarkis baik dalam jabatan, kemampuan maupun pengalaman. Proses pembelajaran akan berjalan secara efektif bila hubungan (baca: psikologis) antara pendidikan dan pesera didik berjalan secara harmonis. Lebih lanjut Mudjab Mahali melukiskan tentang bagaimana hubungan psikologis antara guru dan murid. “perlulah kamu ketahui, bahwa sesungguhnya guru adalah orang yang paling cinta kepadamu, sesudah ayah dan Ibu. Guru selamanya tidak pernah merasa iri dan dengki kepadamu, baik dikala mendapat kebahagiaan ataupun kenikmatan. Sebaliknya guru akan merasa ikut menderita apabila dirimu mendapat petaka. Apabila dirimu mendpat kedudukan yang tinggi, martabat dan kehormatan, maka gurumu akan merasa berbahagia dan bangga pula. Keberhasilan yang telah kamu capai, berarti keberhasilan guru pula di dalam memberikan pendidikan, keberhasilan dalam mendewasakanmu selama ini, sehingga dia pun merasa berbahagia atas keberhasilan yang kamu capai.
Hubungan Kemitraan
Dalam hal ini Abuddin mengatakan dalam pola ini hubungan antara guru dan murid terhadap eksistensinya sama-sama diakui. Guru tidak dapat memaksaan kehendaknya sendiri atau tidak terlalu mendominasi terhadap murid, sebaliknya muridpun tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada guru. Untuk itu mesti dibangun keterbukaan, sifat demokrasi, dan hubungan kemanusiaan antara guru dan murid. Dalam proses belajar mengajar menurut Abuddin murid diperlakukan secara manusiawi, diberikan hak untuk mengemukakan pendapat, bertanya, mengritik, dan diperlakukan sesuai dengan bakat, potensi dan kecendrungannya. Abuddin juga berpendapat bahwa guru mestilah bekerjasama dengan murid dalam memecahkan berbagai persoalan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abuddin Nata adalah seorang organisatoris semenjak masih duduk di bangku kuliah Sarjana Mudanya. Ketertarikannya pada dunia pendidikan telah terasah kuat semasa menempuh sekolah PGA. Hingga pada 1978, beliau dipercaya untuk menjadi Ketua Lembaga Pendidikan dan Dakwah HMI, Cabang Ciputat sampai tahun 1979. Pada tahun 1984 hingga 1986, beliau menjadi Instruktur Lembaga Bahasa dan Ilmu Al Qur’an. Ia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia sebagai dosen. Kecintaannya pada pendidikan Islam di Indonesia, nampak tegas dalam kelahiran Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusunnya demi memenuhi kebutuhan terminologis dalam mempelajari ilmu-ilmu pendidikan Islam. Beliau adalah Penyumbang entry Ensiklopedi Islam jilid I-IV karya Van Hoe. Penyusun Ensiklopedi Islam untuk Departemen Agama RI, Ensiklopedi Al Qur’an dan Suplemen Ensiklopedi Islam.
Dalam pandangan Abuddin Nata yaitu ruang lingkup pendidik dan peserta didik sebagai berikut: Konsep Pendidik, Konsep Peserta Didik, Pola Hubungan Pendidik Dan Peserta Didik, Sikap Guru Terhadap Murid, Sikap Murid Terhadap Guru, Pola Hubungan Murid Dan Guru (Hubungan Edukatif, Hubungan Demokratis, Hubungan Kekeluargaan, Hubungn Psikologis, Hubungan Kemitraan)
0 komentar:
Posting Komentar