TUGAS INDIVIDU
DALAM MATA KULIAH PSIKOLOGI AGAMA
PROBLEMA KEIMANAN
DOSEN PEMBIMBING : ZAINI, S.Pd.I
DISUSUN OLEH
NAMA : ERNI APRILIANI
NIM : 2012121627
LOKAL : D
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi taufik serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyusun makalah yang sangat sederhana ini dengan judul “ Problema Keimanan”.
Pada kesempatan ini pula tak lupa saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Zaini, S.Pd.I selaku dosen pengasuh Mata Kuliah Psikologi Agama yang telah mendukung selesainya makalah ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, tiada gading yang tak retak. Saya hanyalah manusia biasa yang tak pernah luput dari kesalahan dan kekhilafan, kritik dan saran yang bersifat positif sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan berpikir kita semua.
Amin yaa rabbal alamin.
Kandangan, 30 April 2014
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN .............................................................................. 2
Pengertian Keimanan ................................................................. 2
Kualifikasi Keimanan ................................................................. 2
Faktor-Faktor Penyebab Problema Keimanan ....................... 5
Sikap Keagamaan Dan Pola Tingkah Laku ............................. 6
Sikap Keagamaan Yang Menyimpang ...................................... 7
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan Yang Menyimpang ................................................................................ 7
BAB III : PENUTUP ....................................................................................... 10
SIMPULAN ....................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama sesorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi, sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
Di dalam syarat beragama salah satunya adalah “ beriman ”. Iman merupakan unsur yang diperlukan karena seseorang tidak akan memeluk sebuah agama apabila tidak didasari oleh iman atau percaya terhadap ajaran agama tersebut. Nah dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang problema keimanan.
BAB II
PROBLEMA KEIMANAN
Pengertian Keimanan
Iman adalah akidah, kepercayaan kepada Tuhan (yang berkenaan dengan agama). Iman juga berarti kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.
Adapun keimanan adalah keyakinan, ketetapan hati, keteguhan hati dalan mempercayai sesuatu (berkenaan dengan agama pula).
Kualifikasi Keimanan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
Keimanan Yang Verbalistik
Keimanan yang verbalistik, dimulai perkembangannya sejak usia anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata majis keagamaan. Proses penerimaannya langsung melalui prinsip stimulus-stimulus. Karena itu, proses pembelajarannya berlangsung secara persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas kemampuannya.
Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat bahwa juntuk memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas, sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang seksama.
Pantaslah psikologinya apabila seseorang telah mampu mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan merasa lelah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata.
Keimanan Yang Intelektualistik
Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berfikir secara kreatif yang lebih sulit dalam mencari kebenaran iman dibanding dengan tingkat yang pertama diatas. Pada tingkat ini orang terikat oleh kelogisan dan alsan-alasan yang masuk akal dalam upaya menerima keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keyakinannya. Selebihnya perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berfikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan hidup. Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.
Bukti-bukti ontologi didasarkan atas ide dan pemikiran manusia tentang tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa tuhan adalah maha pencipta. Dan harus ada karena ada alam ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas kesadaran mengenai bedanya pencipta dengan makhluk-Nya. Karena itu tuhan adalah maha mengetahui dan maha bijaksana. Akhirnya bukti pragmatik mengenai keyakinan adanya tuhan berakar pada pemahaman manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik, menguntungkan dan menyenangkan.
Keimanan Yang Demonstratif
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan disini berbeda dibanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun yang bertipe intelektualistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama disini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.
Jadi seorang muslim yang karena kebiasaannya sejak kecil secara otomatis mengerjakan sholat lima waktu apabila telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya didasarkan atas hasil analisisnya mengenai besarnya keyakinan yang melandasi tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut keterlibatan organisme, maka hal itu biasanya mengundang keseganan dan malas mengerjakannya. Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada tekanan dan paksaan. Atau bersembunyi sehingga manimbulkan rasa berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian dibandingkan dengan dua tingkat dibawahnya.
Keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini dipandang lebih tinggi, mengingat konsekuensi keimanan lebih berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata. Apalagi didasari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam bentuk tindakan konkrit merupakan satu prinsip yang berlaku dalam kebanyakan lapangan kehidupan. Lebih tinggi lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yang bertipe verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannya.
Keimanan Yang Komprehensif dan Integratif
Ketiga tipe dan tingkat keimanan diatas nampak perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah. Justru karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai keimanan yang komprehensif dan integratif. Jelasnya apabila seseorang telah menguasai ungkapan-ungkapan keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriyahnya maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini.
Konotasi komprehensifnya dapat dilihat dari pemahaman dan kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan diatas dalam segi totalitas yang berinternalisasi pada individu yang bersangkutan. Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan bersambungnya dan saling memperkuat antara keimanan verbal yang diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan kreatif, serta akibat kesadarannya itu terpatri tuntutan untuk mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konseptional tipe keimanan yang keempat ini merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat.
Faktor-Faktor Penyebab Problema Keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
Kontradiksi antara ilmu dan agama
Akibat mempelajari agama lain
Kesulitan membatasi kebebasan agama
Masalah tujuan hidup
Arti mati dan hidup sesudah mati
Pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan pengembangannya menurut kebebasan, kelugasan, dan kerasionalan ilmu pengetahuan juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif, sehingga dapat merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian ilmiah lebih relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara mengenai keadaan dan perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk perkembangan dan pengetahuan dan teknologinya sendiri.
Ilmu pengetahuan yang mendasarkan perkembangannya pada keraguan, sehingga setiap kenyataan selalu mengundang pertanyaan dan menuntut pembuktian, sementara agama bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan semua kenyataan itu diciptakan oleh Tuhan. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
Sikap Keagamaan Dan Pola Tingkah Laku
Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalara, pemahaman dan penghayatan individu. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan ( faktor intern ) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu.
Menurut Prof. Dr. Mar’at, meskipun belum lengkap Allport telah menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap. Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 11 rumusan mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah :
Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan.
Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.
Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik dirumah, sekolah, tempat ibadat ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan.
Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek
Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu.
Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
Sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.
Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kogisi individu.
Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan.
Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai.
Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek, baik yang berbentuk konkret maupun obyek yang abstrak.
Sikap Keagamaan Yang Menyimpang
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada per orang ( dalam diri individu ) dan juga pada kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak secara kontinu dari positif melalui areal netral kearah negatif. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi buruk.
Sikap keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan negatif dari tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap regresif ( menarik diri ) hingga ke sikap yang demonstratif ( unjuk rasa ). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama.
Sikap keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama. Selain sikap seperti itu dapat menimbulkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, juga tak jarang ikut mempengaruhi politik suatu negara, jika sikap menyimpang tersebut sudah mempengaruhi sikap sosial. Dengan demikian sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasional.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan Yang Menyimpang
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk tingkah laku nyata maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit. Beberapa teori psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut antara lain teori stimulus dan respons, teori pertimbangan, teori konsistensi dan teori fungsi. Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
Teori stimulus dan respons yang memandang manusia sebagai organisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variabel yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan. Jadi perubahan sikap sepenuhnya bergantung pada kemampuan lingkungan untuk menciptakan stimulus yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk respons. Hal ini menunjukkan untuk mengubah sikap diperlukan kemampuan untuk merekayasa obyek sedemikian rupa hingga menarik perhatian, memberi pengertian hingga dapat diterima.
Teori kedua yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah : 1) persepsi sosial; 2) posisi sosial dan proses belajar. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas : 1) faktor penguatan (reinforcement); 2) komunikasi persuasif; 3) harapan yang diinginkan. Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan sosial sebagai hasil interaksi faktor internal dan eksternal.
Teori yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap iu adalah :
Munculnya persoalan yang dihadapi
Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih
Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
Terjadi keseimbangan
Sedangkan yang terakhir menurut teori fungsi perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. Sikap memiliki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan kebutuhannya. Katz berpendapat bahwa sikap memiliki empat fungsi, yaitu : 1) fungsi instrumental; 2) fungsi pertahanan diri; 3) fungsi penerima dan pemberi arti; dan 4) fungsi nilai ekspresif. Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak berlangsung secara serta merta, melainkan melalui proses penyeimbangan diri dengan lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Iman adalah akidah, kepercayaan kepada Tuhan (yang berkenaan dengan agama). Iman juga berarti kepercayaan yang meresap ke dalam hati, dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Adapun keimanan adalah keyakinan, ketetapan hati, keteguhan hati dalan mempercayai sesuatu (berkenaan dengan agama pula).
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu :
1. Keimanan yang verbalistik
2. Keimanan yang intelektualistik
3. Keimanan yang demonstratif
4. Keimanan yang komprehensif integrative
Menurut Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1. Kontradiksi antara ilmu dan agama
2. Akibat mempelajari agama lain
3. Kesulitan membatasi kebebasan agama
4. Masalah tujuan hidup
5. Arti mati dan hidup sesudah mati
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf. Iman dan Kehidupan. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993.
Anshari, Muhammad Hafiz.Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1991
Indrayana, Jhony. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mediantara.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
0 komentar:
Posting Komentar